PERCOBAAN IV
KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS
I. Tujuan
Mempelajari cara pemisahan suatu campuran dengan kromatografi lapis tipis.
Menurut Gritter,et al, (1991), kromatografi ditemui oleh Michael J.
Sweet, seorang ahli botani di Universitas Warsaw (polandia). Pada tahun 1906,
kromatografi terbentuk apabila terdapat satu fasa diam, dan satu fasa gerak
(mobility). Fasa diam dalam kromatografi biasanya adalah padatan atau cairan,
dan fasa geraknya adalah cairan atau gas. Metode kromatografi, karena
pemanfaatannya yang leluasa, dipakai secara luas untuk pemisahan analitik dan
preparatif. Biasanya, kromatografi analitik dipakai pada tahap permulaan untuk
semua cuplikan, dan kromatografi preparatif hanya dilakukan jika diperlukan
fraksi murni dari campuran. Pemisahan secara kromatografi dilakukan dengan cara
mengotak-atik langsung beberapa sifat fisika umum dari molekul. Sifat utama
yang terlibat ialah :
·
Kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan).
·
Kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk
halus (adsorpsi, penjerapan).
·
Kecenderungan molekul untuk menguap atau berubah ke keadaan
uap (keatsirian).
Kromatografi
Lapis Tipis (KLT) merupakan cara pemisahan campuran senyawa menjadi senyawa
murninya dan mengetahui kuantitasnya. Kromatografi juga merupakan analisis
cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit, baik penyerap maupun cuplikannya. Kromatografi
lapis tipis dapat di gunakan untuk pemisahan senyawa-senyawa yang bersifat
hidrofobik seperti lipida-lipida dan hidrokarbon yang sukar dijelaskan dengan
kromatografi kertas (Kurniawan dan Santosa, 2004).
Kromatografi lapis tipis merupakan cara cepat dan mudah
untuk dapat melihat kemurnian suatu sampel maupun karakterisasi sampel dengan
menggunakan standar. Cara ini praktis untuk analisis data skala kecil karena
hanya memerlukan bahan yang sangat sedikit dan waktu yang di butuhkan singkat.
Kemurnian suatu senyawa bisa dilihat dari jumlah bercak yang terjadi
pada plat kromatografi lapis tipis atau
pun jumlah puncak kromatogram kromatografi lapis tipis. Uji kualitatif pada kromatografi
lapis tipis dapat dilakukan dengan membandingkan waktu retensi kromatogram
sampel dengan kromatogram senyawa standar (Handayani,et al., 2005).
Dalam analisis kimia suatu bahan, maka akan sering
dihadapkan pada pekerjaan-pekerjaan seperti menghilangkan konstituen pengganggu
atau mengisolasikannya maupun memekatkan konstituen yang dikehendaki sebelum
dilakukuan identifikasi maupun pengukuran jumlahnya. Untuk
melakukan analisis kimia tersebut maka kita
harus menggunakan suatu metode agar dapat menentukan hasil yang tepat,
kromatografi salah satunya, dan dapat pula digunakan sebagai analisa secara
kuantitatif. Kromatografi
adalah suatu metoda untuk separasi yang menyangkut komponen suatu contoh di
mana komponen dibagi-bagikan antara dua tahap, salah satu yang mana adalah
keperluan selagi gerak yang lain. Di dalam gas kromatografi adalah gas mengangsur
suatu cairan atau tahap keperluan padat. Di dalam cairan kromatografi
adalah campuran cairan pindah gerakkan melalui cairan yang lain, suatu padat,
atau suatu ‘gel’ agar. Mekanisme separasi komponen mungkin adalah adsorpsi,
daya larut diferensial, ion-exchange, penyebaran/perembesan, atau mekanisme
lain (David, 2010).
Kromatografi lapis tipis dapat dipakai
dengan dua tujuan. Pertama, dipakai selayaknya sebagai metode untuk mencapai
hasil kualitatif, kuantitatif atau preparatif. Kedua, dipakai untuk menjajaki
sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom
atau kromatografi cair kinerja tinggi (Gritter et al, 1991).
Kromatografi lapis tipis juga dapat
berguna untuk mencari eluen untuk kromatografi kolom, analisis fraksi yang
diperoleh dari kromatografi kolom, identifikasi senyawa secara kromatografi dan
isolasi senyawa murni skala kecil. Pelarut yang dipilih untuk pengembang
disesuaikan dengan sifat kelarutan senyawa yang dianalisis. Bahan lapisan tipis
seperti silika gel adalah senyawa yang tidak bereaksi dengan pereaksi–pereaksi
yang lebih reaktif seperti asam sulfat. Data yang diperoleh dari kromatografi
lapis tipis adalah nilai Rf yang berguna untuk identifikasi senyawa. Nilai Rf
untuk senyawa murni dapat dibandingkan dengan nilai Rf dari senyawa standar.
Nilai Rf dapat didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dari
titik asal dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut dari titik asal. Oleh
karena itu bilangan Rf selalu lebih kecil dari 1,0.
Menurut Gandjar dan Rohman( 2007), fase
yang digunakan pada KLT yaitu:
1.
Fase Diam
Fase diam yang digunakan dalam KLT
merupakan penjerap berukuran kecil
dengan diameter partikel antara 10-30 μm. Semakin kecil ukuran rata-rata
partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin
baik kinerja kromatografi lapis tipis dalam hal efisiensi dan resolusinya.
Penjerap yang paling sering digunakan adalah silika dan serbuk selulosa,
sementara mekanisme sorpsi yang utama pada kromatografi lapis tipis adalah adsorpsi dan partisi.
2.
Fase Gerak
Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari
pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan
hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik
karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa
sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah beberapa
petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak :
a.
Fase gerak harus
mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknik yang sensitif.
b.
Daya elusi fase gerak
harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak
antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.
c.
Untuk pemisahan
dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang
berarti juga menentukan nilai Rf.
Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti
dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metil benzene akan meningkatkan harga Rf secara signifikan.
d.
Solut-solut ionik dan
solut-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan
metanol dengan perbandingan tertentu.
Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia masing-masing
akan meningkatkan solut-solut yang bersifat basa dan asam.
Pemisahan
pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh hanya jika menotolkan
sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Sebagaimana dalam
prosedur kromatografi lain, jika sampel yang digunakan terlalu banyak akan
menurunkan resolusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penotolan sampel secara
otomatis lebih dipilih daripada penotolan secara manual terutama jika sampel
yang akan ditotolkan lebih dari 15 µl. Tepi bagian bawah lempeng lapis tipis
yang telah ditotolkan sampel dicelupkan kedalam fase gerak kurang lebih 0,5-1
cm. Tinggi fase gerak harus dibawah lempeng bertotol sampel.
1.1 Alat
a.
Plat KLT
b.
Kertas saring
c.
Pipa Kapiler
d.
Chamber
e.
Kaca
3.2 Bahan
No
|
Bahan
|
Sifat Fisika
|
Sifat Kimia
|
Bahaya
|
Penanggulangan
|
1.
|
Kloroform
(Non Polar)
|
- Cairan
tidak berwarna
-Bau menyengat -Mudah menguap
|
-Massa molar 119,39 gr/mol
|
-Karsinogenik, Iritasi, Pusing dan mual
|
-Cuci bagian yang terkontaminasi, pindah ke tempat
berudara segar.
|
2.
|
Aseton
(semi Polar)
|
-Cairan tidak berwarna
-Titik Leleh: -94,9
-Titik Didih: 56,53
|
-Massa molar 58,08 gr/mol
|
-Iritasi, mual, pusing, kantuk
|
-Cuci bagian yang terkontaminasi, pindah ke tempat
berudara segar
|
3.
|
Asam Format
(polar)
|
-Penampilan Cairan tidak berwarna
-Densitas 1.22 g/mL
|
-Bm : 46,03
-Mudah larut dalam aseton dan air dingin
|
-Iritasi
|
-Cuci bagian yang terkontaminasi, pindah ke tempat
berudara segar
|
4.
|
Asam Asetat Glasial (Polar)
|
-Cairan jernih
-Tidak berwarna
|
-Bilangan iodine (912/100)
|
-Mudah terbakar
|
-Disimpan dalam wadah tertutup rapat, jauhkan dari
sumber api.
|
Sampel
|
Hasil
|
Kromatografi adalah teknik pemisahan
campuran berdasarkan perbedaan distribusi dan komponen diantara dua fase, yaitu
fase diam (padat atau cair) dan fase gerak (cair atau gas). Prinsip kerjanya
yaitu memisahkan sampel berdasarkan perbedaan kepolaran antara sampel dengan
pelarut yang digunakan. Fase diam yang digunakan pada percobaan ini yaitu
berbentuk plat silika dengan fase gerak berupa larutan kombinasi antara
gabungan komposisi kloroform, aseton dan asam asetat. Campuran larutan ini
dinamakan dengan eluen. Semakin dekat kepolaran dengan sampel dan eluen, maka
sampel akan terbawa oleh fase gerak tersebut.
Sampel yang digunakan dalam pemisahan
dengan metode kromatografi lapis tipis ini adalah minyak kemiri hasil sokletasi
pada praktikum sebelumnya. Dapat diketahui bahwa minyak kemiri ini memiliki
besar densitas atau berat jenis 0,746 gram/mL. Sedangkan menurut SNI (1998),
minyak kemiri memiliki sifat fisika dan kimia dengan densitas sebesar
0,9240-0,9290 gram/cm3. Minyak kemiri merupakan jenis lipid,
sehingga memiliki sifat nonpolar, dengan kandungan terbesar berupa asam
palmitat sebesar 55%. Sampel dari minyak kemiri ini merupakan larutan uji yang
akan dipisahkan.
Larutan uji minyak kemiri diambil
menggunakan pipa kapiler kemudian ditotolkan pada plat. Plat yang digunakan
merupakan plat silika yang memiliki ukuran panjang 5 cm, dan lebar 1 cm. Pada
ujung atas dan ujung bawah dari plat dibuat garis dengan menggunakan pensil
dengan ukuran 0,5 cm. Sehingga panjang jarak yang akan ditempuh oleh eluen
nantinya adalah sepanjang 4 cm.
Silika gel merupakan fase diam yang
digunakan dalam pemisahan menggunakan kromatografi lapis tipis. Rumus dari
silika gel yaitu SiO2.H2O. silika gel merupakan butiran
yang berpori. Pemotongan plat harus dilakukan secara hati-hati supaya tidak
merusak struktur dari plat silika yang akan digunakan. Plat silika merupakan
lempengan berwarna putih dan memiliki struktur yang berlubang dengan porositas
yang tinggi yaitu sekitar 800 m2/gram. Oleh karena itulah silika
dapat dimanfaatkan sebagai zat penyerap atau pengering.
Selanjutnya plat kromatografi lapis
tipis yang sudah ditotolkan dengan sampel minyak kemiri dimasukkan ke dalam
chamber atau bejana. Namun, dalam percobaan ini digunakan alternatif berupa
gelas beaker. Gelas beaker sudah diisi dengan campuran larutan berupa eluen
yang akan berperan sebagai fase gerak. Tepi bagian bawah kromatografi lapis
tipis yang telah ditotol sampel minyak kemiri dicelupkan ke dalam fase gerak
kurang dari 0,5 cm, karena jarak yang digaris menggunakan pensil sebelumnya
adalah 0,5 cm. Tinggi fase gerak di dalam chamber harus di bawah plat silika
yang berisi totolan sampel minyak kemiri. Bejana kromatografi atau gelas beaker
ini harus tertutup rapat karena fase gerak yang digunakan mudah menguap.
Sebaiknya fase gerak digunakan sedikit mungkin tetapi tetap harus mampu
mengelusi plat atau lempengan sampai pada ketinggian plat yang telah ditentukan.
Untuk melakukan penjenuhan fase gerak, biasanya bejana dilapisi dengan kertas
saring. Jika fase gerak telah mencapai ujung dari kertas saring, maka dapat
dikatakan bahwa fase gerak telah jenuh. Namun pada percobaan ini, penjenuhan
fase gerak hanya dilakukan dengan menutup gelas beaker secara rapat menggunakan
alumunium foil sehingga fase gerak jenuh dan tidak menguap.
Fase gerak atau eluen yang digunakan
adalah larutan campuran dari kloroform, aseton, dan asam asetat glasial.
Kloroform (CH3Cl) merupakan cairan tidak berwarna nonpolar yang
memiliki viskositas 0,563 cP dan densitas pada suhu 25oC
sebesar1,489 gram/cm3. Aseton yaitu larutan tidak berwarna yang
bersifat semi polar. Aseton (C3H6O) merupakan senyawa
dengan gugus karboksil berupa keton. Aseton memiliki viskositas 0,32 cP dengan
densitasnya 0,79 gram/cm3. Sedangkan asam asetat glasial (CH3COOH)
adalah larutan bening tidak berwarna yang memiliki sifat polar. Asam asetat
glasial memiliki bau yang menyengat seperti cuka. Asam asetat glasial artinya
asam asetat pekat yang mengandung asam cuka C2H4O2
tidak kurang dari 99,5%.
Fase gerak menggunakan campuran larutan
dari aseton, kloroform dan asam asetat glasial. Larutan (I) adalah fase gerak
atau eluen dengan komposisi 3 mL aseton, 1 mL kloroform, dan 1 mL asam asetat
glasial, sehingga larutan (I) memiliki sifat yang cenderung semipolar. Pada
larutan (II), komposisi eluen atau fase gerak adalah 3 mL kloroform, 1 mL
aseton, dan 1 mL asam asetat glasial, sehingga larutan (II) memiliki sifat yang
cenderung nonpolar. Sedangkan pada larutan (III), komposisi dari eluen atau
fase geraknya adalah 3 mL asam asetat glasial, 1 mL kloroform, dan 1 mL aseton,
sehingga larutan (III) memiliki sifat yang cenderung polar. Bila sampel telah
ditotolkan, maka tahap selanjutnya adalah mengembangkan sampel ke dalam bejana
kromatografi yang telah dijemuhi dengan uap fase gerak. Untuk melakukan
penjenuhan fase gerak, biasanya bejana dilapisi dengan kertas saring. Jika fase
gerak telah mencapai ujung kertas saring, maka didapat fase gerak yang telah
jenuh. Plat kromatografi lapis tipis yang telah dicelupkan pada masing-masing
fase gerak kemudian diangkat dari beaker glass lalu dikeringkan. Setelah kering
maka akan ditentukan jarak Rf melalui bercak noda yang terdapat dalam plat kromatografi
lapis tipis. Namun karena larutan fase gerak merupakan cairan tidak berwarna,
maka pendeteksian bercak yang terdapat di plat kromatografi lapis tipis
dilakukakan dengan menggunakan uap iodium. Plat kromatografi lapis tipis yang
telah dielusi dan dikeringkan, kemudian dimasukkan ke dalam beaker gelas
tertutup lalu diguncang. Kristal iodium akan menghasilkan uap yang akan
mengubah kromatografi lapis tipis yang semula tidak berwarna, berubah menjadi
timbul noda bercak yang berwarna kuning.
Hal ini dapat terjadi karena uap iodium bereaksi dengan bercak noda.
Bercak noda yang timbul kemudian diukur
dengan menggunakan penggaris lalu ditentukan nilai Rf.
Tabel 1. Hasil Pengamatan kromatografi lapis tipis
No
|
Perlakuan
|
Hasil
|
1
|
Kloroform: Aseton: Asam asetat Glasial
1: 3: 1
|
Kuning Orange
Rf : 0,750
|
2
|
Kloroform: Aseton: Asam asetat Glasial 3: 1: 1
|
Orange
Rf : 0,475
|
3
|
Kloroform: Aseton: Asam asetat Glasial 1: 1: 3
|
Orange Pucat
Rf : 0,700
|
Keterangan : Hasil pengujian dengan menggunakan KLT dengan
perbandingan pelarut berbeda dan menghasilkan Rf yang berbeda.
Adapun hasil bercak noda sampel pada
KLT yaitu sebagai berikut :
Gambar 1. Gambar
2. Gambar 3.
Bercak noda dengan Bercak noda dengan Bercak noda dengan
eluen 1: 3: 1 eluen 3: 1: 1 eluen 3: 1: 1
Nilai Rf menyatakan derajat retensi
suatu komponen dala fase diam. Hal ini dikarenakan jarak antara jalannya suatu
pelarut bersifat relatif. Oleh karena itu, diperlukan suatu perhitungan tertentu
untuk memastikan spot yang telah terbentuk memiliki jarak yang sama walaupun
ukuran jarak platnya berbeda. Rf merupakan perbandingan dari jarak yang
ditempuh komponen dengan jarak yang ditempuh pelarut. Semakin besar nilai Rf
maka akan semakin besar pula jarak bergeraknya senyawa ataupun komponen dalam
plat kromatografi tersebut.
Proses
elusi sampel minyak atsiri bergerak naik dengan adanya gaya kapiler. Senyawa
non polar kurang melekat pada fase diam sehingga memiliki jalur laju alir yang
lebih besar keatas plat. Hal ini disebabkan karena plat silika/fase diamnya
bersifat polar. Jarak tempuh keatas lempeng plat merupakan cermin polaritas
senyawa (like dissolve like). Komponen yang kurang diserap oleh absorben akan
lebih cepat naik pada plat, sehingga komponen yang kuat diserap akan lebih
lambat naik. Sampel minyak kemiri bersifat non polar, maka berdasarkan prinsip
like disolve like, maka komponen minyak kemiri akan lebih mudah menyerap
larutan yang cenderung non polar juga yaitu larutan nomor dua dengan
perbandingan komposisi 3 mL kloroform, 1 mL aseton, dan 1 mL asam asetat
glasial. Karena sama menyerap, maka jarak yang ditempuh akan semakin semakin
panjang yang mengakibatkan nilai Rf semakin besar. Hal ini sesuai dengan data
hasil percobaan bahwa nilai Rf terkecil adalah pada campuran larutan kedua
jenis eluen atau fase gerak terbaik untuk memisahkan komponen minyak kemiri
adalah larutan dengan komposisi 3 mL kloroform, 1 mL aseton dan 1 mL asam
asetat glasial.
Namun
dilihat dari hasil noda bercak, larutan pertama yang komposisinya 1 mL
kloroform, 3 mL aseton dan 1 mL asam asetat glasial memiliki spot titik bercak
yang paling baik karena nilai Rf yang baik adalah 0,2-0,8. Selain itu, hal ini
juga disebabkan karena tampak hanya satu titik saja sedangkan bercak ganda atau
berekor menunjukkan bahwa sampel larutan uji, komponenya tidak dapat terpisah
dengan baik. Namun, bercak yang berekor atau tidak beraturan dapat pula
disebabkan karena proses penotolan yang berulang-ulang serta tidak tepat.
Kelebihan
dari metode kromatografi lapis tipis ini adalah lebih banyak digunakan untuk
tujuan analisis, pemisahan komponen dapat diidentifikasi dengan cara
fluoresensi, hanya membutuhkan sedikit pelarut, proses preparasi sampel mudah
serta biayanya yang terjangkau. Namun, kendala dalam melakukan metode
kromatografi lapis tipis adalah dibutuhkannya sistem trial dan error untuk menentukan
jenis eluen yang cocok, memerlukan waktu yang lama serta membutuhkan
aplikasinya dalam multidisiplin ilmu dan menerapkannya agar mendapatkan bercak
noda yang diharapkan.
6.1
Kesimpulan
Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah suatu
teknik kromatografi yang sederhana yang biasanya digunakan untuk identifikasi
senyawa-senyawa organik. Pemisahan dengan metode kromatografi lapis tipis
dilakukan dengan cara menotolkan sampel pada lempengan lapis tipis kemudian
memasukkannya ke dalam chamber yang berisi eluen dengan perbandingan pelarut
tertentu. Prinsip dari kromatografi lapis tipis yaitu pemisahan senyawa
berdasarkan kepolaran fase diam dan senyawa yang diuji.
6.2
Saran
Dalam
melakukan praktikum kromatografi lapis tipis, diperlukan pemahaman tentang kepolaran larutan untuk
memudahkan praktikan dalam
melakukan percobaan dan membahas hasil percobaan.
David. 2010. Pengantar Kromatografi. Bandung: Institut Teknologi Bandung Press.
Gandjar I. G., dan A. Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Gritter R. J., J. M.
Bobbit dan E. S. Arthur. 1991. Pengantar
Kromatografi. Bandung: Institut Teknologi
Bandung Press.
Handayani S., S.
Sunartodan dan Kristianingrum. 2005. “Kromatografi Lapis Tipis untuk Penentuan
Kadar Hesperidin dalam Kulit Buah Jeruk”. Jurnal
Penelitian Saintek. Vol 10 (1).
Kurniawan Y.,
dan Santosa. 2004. “Pengaruh JumLah Umpan dan Laju Alir Eluen Pada Pemisahan Sukrosa dari Tetes Tebu
Secara Kromatografi”. Jurnal Ilmu Dasar. Vol 5 (1).
LAMPIRAN
A.
PERHITUNGAN
No
|
Perlakuan
|
Hasil
|
1
|
Kloroform: Aseton: Asam asetat Glasial
1: 3: 1
|
Kuning Orange
Rf : 0,750
|
2
|
Kloroform: Aseton: Asam asetat Glasial 3: 1: 1
|
Orange
Rf : 0,475
|
3
|
Kloroform: Aseton: Asam asetat Glasial 1: 1: 3
|
Orange Pucat
Rf : 0,700
|
Jarak
eluen = 4 cm
a.
Untuk eluen Kloroform: Aseton: Asam asetat Glasial ( 1:3:1)
Kuning Orange
Rf =
=
= 0,750
b.
Untuk eluen Kloroform: Aseton: Asam asetat Glasial ( 3:1:1)
Orange
Rf =
=
= 0,475
c.
Untuk eluen Kloroform: Aseton: Asam asetat Glasial(1:1:3)
Orange Pucat
Rf =
=
= 0,700